BUNDA AJARKAN ANAKMU UNTUK BERKARYA (PART 2)
Menyambung cerita saya kemaren
tentang anggapan kesuksesan bagi kebanyakan orang. Bahwa sukses itu adalah
ketika bisa duduk dibelakang meja, memakai baju kemeja mahal plus berdasi atau
blazzer bagi wanita dengan mendapat gaji setiap bulannya. Barangkali itu adalah
impian dari semua mahasiswa, termasuk saya pada saat itu. Bersungguh-sunguh
kuliah, mendapatkan nilai bagus, lalu diterima diperusahaan atau lolos seleksi
CPNS kemudian bekerja sesuai dengan bidang keahlian.
Namun
apa jadinya jika kenyataan tidak sesuai harapan. Bahwa yang sebenarnya adalah
sulitnya lapangan pekerjaan di negara kita, hanya mengandalkan selembar ijazah
namun minim skill hingga petantang-petenteng membawa ijazah kesana kemari untuk
melamar pekerjaan. Sedikitnya lapangan pekerjaan membuat tingkat pengangguran
semakin tinggi. Akhirnya banyak yang frustasi hingga terlintas sebuah anggapan “buat
apa kuliah jika pada akirnya hanya menjadi kulli bangunan atau buat apa kuliah
jika pada akhirnya hanya dirumah saja”.
Jika
kejadiannya sudah seperti itu, siapa yang mesti disalahkan?? Apa orang tua yang
dulu hanya mendidik untuk belajar, belajar yang tekun tak usah pikirkan biaya
dll, atau kitanya yang kurang kreatif untuk mengembangkan skill yang dimiliki.
Banyak wanita lulusan sarjana akhirnya terbentur persoalan anak hingga memilih
berdamai dengan kenyataan dan memilih untuk dirumah dengan mengesampingkan
egonya untuk berkarier. Selembar ijazah
dengan IPK diatas 3 setengah, lama kelamaan tidak ada artinya jika tidak ada
skill dalam diri. Sulitnya lapangan pekerjaan atau kodratnya perempuan adalah
dirumah membuat pentingnya seseorang untuk berkarya dengan terus mengasah skill
yang dimiliki.
Mari
kita belajar dari pengalaman, jika dahulu orangtua kita mengajarkan hal seperti
itu hanya untuk tekun belajar tanpa mengasah skill, berdamailah dengan keadaan
sebelum usia menjelang 40 tahunan teruslah mengasah skill yang dimiliki,
carilah passion yang sesuai dengan diri dan teruslah mengasah passion tersebut
hingga menghasilkan. Kemudian arahkan anak sedari dini untuk bekaryaa, berwira
usaha khususnya anak perempuan. Seperti mengajari masak, menjahit, menulis dan
lain-lain, agar suatu waktu jika takdir anak gadis kita nantinya berada dirumah
dia telah siap dengan skill yang dimiliknya.Karena, memasuki era digital,
banyak pekerjaan yang tak perlu kantor, atau dengan di rumah saja, namun tetap
menghasilkan
photo : pixbay
Baca juga : Bunda Ajarkan anakmu untuk Berkarya (Part 1)
13 komentar
trimakasih sudah berkomentar di blog ini
ReplyDeleteBetul mbak. Saya setuju yang ini, untuk mendapatkan anak berprestasi...yang pertama kali diubah adalah pola pikir orang tuanya.
ReplyDeleteSetuju sekali, Mbak Rahayu:)
ReplyDeleteSaya 6 bersaudara perempuan semua. Ibu saya bisa menjahit, terima pesanan masakan dan hampir semua ketrampilan perempuan bisa. Karena Beliau cuma sekolah sampai SMP, jadilah kami berenam dipacu belajar demi sebuah gelar. Ketrampilan dilupakan, karena diharapkan bisa kerja kantoran. Jadi, saat pertama menikah dan memutuskan di rumah, saya memasak nasi goreng pun tak bisa, pegang jarum jahit tak mampu...
Sekarang, meski anak saya laki-laki..saya ajari mandiri, paling tidak trampil untuk kepentingan dirinya sendiri nanti.
Benar mbak, sy juga begitu ibu sy juga bisa semuanya, memasak, membuat kue dan menjahit walaupun disempatkan mengajar juga disekolah dasar. oleh ibu kami hanya disuruh belajar, bisa sampai lulus sarjana, kemudian honor atau menjadi PNS, tapi kenyataannya, abang dan kakak saya memang sesuai dengan harapan kedua orang tua, namun saya mesti berdamai dengan keadaan, bagaimana meninggalkan anak-anak yg masih kecil-lecil untuk mengajar. saya memilih untuk dirumah saya, namun saya merasa tak ada keahlian apapun seperti memasak ataupun menjahit. kini sy mulai haru s mengajarkan beragam keahlian untuk anak-anak saya :-)
DeleteSetuju banget. Skill itu adalah investasi, yang nilainya bisa sangat tinggi kalau bertemu pasar yg tepat. Perusahaan2 juga pastinya lebih melirik mereka yang memiliki keahlian lebih ketimbang modal ijazah doang.
ReplyDeleteWah benar sekali ini kak
ReplyDeleteIbu saya justru produk yang dilarang ngapa2in oleh kakak-kakaknya yang serba bisa hingga buka usaha mak andam, katering dan terima jahitan. Alhasil ibu saya sendiri ga jago masak atau pekerjaan perempuan lain. Untungnya ayah saya yang jago. Jadi saya belajar teknik masak sampai hal kecil semacam nyetrika tuh dari ayah hehehehe..
ReplyDeleteBtw, udah lama ga main kesini. Suka penampilan barunya.
ngeinfoin sedikit di side bar ada typo "daftra penggunjung" mbak
thank mbak nisa, mbak nisa apa kabar.. dah lama nih nggak ikutan di blogger kepri
DeleteAlhamdulillah baik. Iya, kmren ada kendala teknis yg bikin ga bisa gabung grup WA dan sering2 posting Blog
DeleteIya mak sekarang lapangan kerja semakin sedikit. Dripda kita berpikir bagaimana mendapatkan pkrjaan stelah lulus kuliah. Lbh baik kita berpikir bagaimana membuat lapangan kerja baru
ReplyDeletesaya melihat banyak fenomena sarjana pertanian yang tak bisa ikut PNS alhasil bertani di Bank alias jadi pegawai bank. Yang penting kerja kata orang tua. padahal berkarya adalah pertanda generasi yang maju.
ReplyDeletesetuju pake banget....skill harus dimiliki siapapun. skill menulis, marketing, public speaking juga sama pentingnya dengan skill yg lain...
ReplyDeletesiip mbak nuning
DeleteTerima Kasih Atas Kunjungannya