RADEN AJENG KARTINI DALAM LINGKARAN POLIGAMI
Poligami telah menjadi kebiasaan dikalangan para bangsawan zaman
dulu. Mereka tidak hanya memiliki isteri satu, namun juga sampai empat. Bahkan
mereka juga memiliki gundik atau budak lebih dari sepuluh. Dinikahi secara
resmi baik itu menjadi isteri, kesatu atau keempat menjadi kehormatan bagi
seorang perempuan. Sebab menjadi istri seorang bupati dan pejabat merupakan
sebuah kebanggaan.
Raden Ajeng Kartini terlahir sebagai
perempuan Jawa, perempuan ningrat, dengan segala peraturan mengikat, terlebih
pada zaman dulu. Ayahnya bernama Raden Mas Adipati Sosrongingrat dan ibunya bernama
M.A. Ngasirah anak dari Kyai Haji Madirona dan Nyai Hajjah Siti Aminah seorang guru ngaji di teluk kaur jepara. Sebelum
menjabat sebagai bupati, ayahnya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan
kolonial Belanda waktu itu mengharuskan seorang bupati beristrikan seorang
bangsawan, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam),
keturunan langsung Raja Madura. Setelah itu barulah ayah Kartini di angkat
menjadi Bupati Jepara menggantikan kedudukan ayah
kandung R.A. Woerjan, Raden Adipati Tjitrowikromo.
Keluarga
Kartini adalah orang-orang yang berpikiran maju, sehingga ia di perbolehkan
bersekolah di ELS (Europa Logare School), disekolah itu kartini belajar bahasa
Balanda. Pada usia 12 tahun, Kartini tidak di perbolehkan lagi bersekolah,
karena sesuai adat kebiasaan waktu itu,
anak perempuan tidak di perbolehkan lagi keluar rumah dan harus di pingit.
Walaupun begitu, Kartini masih di perbolehkan untuk belajar di rumah, membatik,
membaca buku dan majalah serta mengirim surat kepada teman-temannya orang
Belanda diantaranya : JH Abendanon,
Rosa Manuella, dan Estelle Zeeehandelaar.
Pada
tanggal 8 Agustus 1900, Mr Abendanon bersama istrinya berkunjung ke Jepara. Mr Abendanon
lah yang membimbingnya untuk meraih citanya, awalnya Kartini ingin belajar ke
Belanda, namun atas arahan Mr. Abendanon, Kartini merubah keinginannya untuk melanjutkan
sekolah guru di Batavia, dan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerahnya. Mr
Abdennon juga lah yang memintanya untuk menulis karangan, dan merekomendasikan agar
Kartni mendapat beasiswa sekolah guru di Betawi dari pemerintah Belanda.
Sumber gambar : Google |
Tanggal
24 Juli 1903, Kartini mendapat balasan permohonan untuk melanjutkan sekolah
dari pemerintah Balanda. Akan tetapi surat penerimaan itu di tolaknya, sebab
iya telah dilamar bupati Rembang KRM Adipati Ario
Singgih Djojo Adhiningrat yang sudah beristri tiga dan mempunyai 7 orang anak. Atas bujukan ayahnya yang telah sakit-sakitan,
dan juga adat pada masa itu tidak boleh menolak keinginan orangtua. Kartini yang
patuh akhirnya menerima lamaran Bupati Rembang. Kartini menilai bahwa suaminya akan mampu mewujudkan cita-cita
nya untuk mendirikan sekolah dan memajukan pendidikan anak gadis masa itu. Ini
lah yang menjadi sebab, Kartini menerima lamaran bupati Rembang. Kartini
menikah Pada tanggal 12 November 1903. Sang suami tercinta memberi kebabasan
dan medukung segala Kegiatan Kartini.
Seperti membuat kerajinan ukiran kayu Jepara, dan menyediakan
tempat untuk sekolah yang di bangun Kartini. Sekolah itu terletak di sebelah timur
pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang.
Usaha Kartini taklah begitu lama, setahun
setelah itu Kartini wafat setelah melahirkan putra pertama yang di beri nama Soesalit
Djojodhinigrat pada tanggal 13 September 1904. Empat hari setelah melahirkan
Kartini menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 17 September 1904. Dimakamkan
di Desa Bulu, Kecamatan Bulu Rembang. Walaupun perjuangan Kartini untuk
mamajukan kaum wanita terasa singkat, namun semangat nya masih terus membara
hingga sekarang.
0 komentar
Terima Kasih Atas Kunjungannya