RADEN AJENG KARTINI DALAM LINGKARAN POLIGAMI

by - April 20, 2017

Poligami telah menjadi kebiasaan dikalangan para bangsawan zaman dulu. Mereka tidak hanya memiliki isteri satu, namun juga sampai empat. Bahkan mereka juga memiliki gundik atau budak lebih dari sepuluh. Dinikahi secara resmi baik itu menjadi isteri, kesatu atau keempat menjadi kehormatan bagi seorang perempuan. Sebab menjadi istri seorang bupati dan pejabat merupakan sebuah kebanggaan.
Raden Ajeng Kartini terlahir sebagai perempuan Jawa, perempuan ningrat, dengan segala peraturan mengikat, terlebih pada zaman dulu.  Ayahnya bernama Raden Mas Adipati Sosrongingrat dan ibunya bernama M.A. Ngasirah anak dari Kyai Haji Madirona dan Nyai Hajjah Siti Aminah  seorang guru ngaji di teluk kaur jepara. Sebelum menjabat sebagai bupati, ayahnya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial Belanda waktu itu mengharuskan seorang bupati beristrikan seorang bangsawan, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah itu barulah ayah Kartini di angkat menjadi Bupati Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, Raden Adipati Tjitrowikromo.

Keluarga Kartini adalah orang-orang yang berpikiran maju, sehingga ia di perbolehkan bersekolah di ELS (Europa Logare School), disekolah itu kartini belajar bahasa Balanda. Pada usia 12 tahun, Kartini tidak di perbolehkan lagi bersekolah, karena sesuai  adat kebiasaan waktu itu, anak perempuan tidak di perbolehkan lagi keluar rumah dan harus di pingit. Walaupun begitu, Kartini masih di perbolehkan untuk belajar di rumah, membatik, membaca buku dan majalah serta mengirim surat kepada teman-temannya orang Belanda diantaranya : JH Abendanon, Rosa Manuella, dan Estelle Zeeehandelaar.
Pada tanggal 8 Agustus 1900, Mr Abendanon bersama istrinya berkunjung ke Jepara. Mr Abendanon lah yang membimbingnya untuk meraih citanya, awalnya Kartini ingin belajar ke Belanda, namun atas arahan Mr. Abendanon, Kartini merubah keinginannya untuk melanjutkan sekolah guru di Batavia, dan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerahnya. Mr Abdennon juga lah yang memintanya untuk menulis karangan, dan merekomendasikan agar Kartni mendapat beasiswa sekolah guru di Betawi dari pemerintah Belanda.
Sumber gambar : Google

Tanggal 24 Juli 1903, Kartini mendapat balasan permohonan untuk melanjutkan sekolah dari pemerintah Balanda. Akan tetapi surat penerimaan itu di tolaknya, sebab iya telah dilamar bupati Rembang KRM Adipati  Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang sudah  beristri tiga dan mempunyai 7 orang anak.  Atas bujukan ayahnya yang telah sakit-sakitan, dan juga adat pada masa itu tidak boleh menolak keinginan orangtua. Kartini yang patuh akhirnya menerima lamaran Bupati Rembang.           Kartini menilai  bahwa suaminya akan mampu mewujudkan cita-cita nya untuk mendirikan sekolah dan memajukan pendidikan anak gadis masa itu. Ini lah yang menjadi sebab, Kartini menerima lamaran bupati Rembang. Kartini menikah Pada tanggal 12 November 1903. Sang suami tercinta memberi kebabasan dan  medukung segala Kegiatan Kartini. Seperti  membuat kerajinan ukiran kayu  Jepara,  dan  menyediakan tempat untuk sekolah yang di bangun Kartini. Sekolah itu terletak  di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang.
Usaha Kartini taklah begitu lama, setahun setelah itu Kartini wafat setelah melahirkan putra pertama yang di beri nama Soesalit Djojodhinigrat pada tanggal 13 September 1904. Empat hari setelah melahirkan Kartini menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 17 September 1904. Dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu Rembang. Walaupun perjuangan Kartini untuk mamajukan kaum wanita terasa singkat, namun semangat nya masih terus membara hingga sekarang. 

You May Also Like

0 komentar

Terima Kasih Atas Kunjungannya