Sepuluh tahun
lalu, di akhir tahun 2006 saat saya lagi frustasi lantaran proposal skripsi
yang selalu ditolak dosen pembimbing. Ada pesan masuk di handphone, yang
memberitahukan bahwa saya naskah saya lolos seleksi panitia dan saya berkesempatan
untuk mengikuti Workshop Kepenulisan Sastra selama 4 hari 3 malam di INS Kayu Tanam Kabupaten
Pariaman. Workshop ini diadakan oleh DKSB (Dewan Kesenian Sumatera Barat). Dari
kampus ada beberapa orang yang mengirimi naskah dan hanya naskah saya sendiri
yang lulus seleksi, naskah yang saya
kirim adalah naskah cerpan yang berjudul Laki-laki itu.
Seingat saya ada sekitar 40 peserta yang
mengikuti kegiatan ini dari berbagai kampus. Saya waktu itu sekamar dengan
seorang sarjana kedokteran yang lagi Koas, dia jago membuat puisi, namanya siska. Karena kegiatan
ini diadakan oleh DKSB maka akan lebih banyak unsur sastra didalam tulisan.
Para mentor adalah para penulis ternama Sumatera Barat : Gus Tf Sakai, Abel
Tasman, Esa Tegar dan lainnya saya tak ingat lagi. Nama Gus Tf Sakai, pertama
kali saya kenal ketika membaca Novel Golagong
Balada Si Roy, Gola Gong pernah mengutip sklumit ungkapan Gus Tf Sakai yang berbuyi “Masa depan selalu menjanjikan harapan. Sebab
Tuhan senantiasa menaburkan kebahagiaan. Jika kenyataan tida seperti yang kita
inginkan”, saya masih
ingat hingga kini, sebab ketika membaca langsung saya tulis. Tak menyangka
Novel yang saya baca zaman SMU, di akhir masa perkuliahan saya berguru dengan
penulis ungkapan tersebut. Gus Tf Sakai lebih dikenal dengan novel remaja
berjudul “Segi Empat Patah Sisi” juga cerpenya menghiasai Majalah Sastra
Harison, bersama Esa Tegar dengan puisi sastranya.
Dalam tulisan
ini saya tidak akan mengulas tentang Workshop ini, karena banyak yang sudah
lupa, namun masih ada beberapa hal yang masih saya ingat. Waktu itu kami di
bagi kedalam dua kelompak. Kelompok cerpen dan kelompok Puisi. Seperti pelatihan
kepenulisan pada umumnyam tidak banyak teori namun langsung praktek menulis.
Saya masuk dalam kelompok cerpen yang langsung di mentori Gus Tf Sakai, sistem
belajarnya membuat lingkaran dan kami duduk di taman-taman. Gus tf Sakai mengoreksi
tulisan kami dan memberi masukan dengan kalimat yang tepat. Ada satu hal yang
hingga saat ini masih saya ingat. Para mentor mengatakan, penulis saat ini menulis hanya untuk
memenuhi kebutuhan penerbit yang mengikuti selera pasar. Sehingga unsur – unsur
sastra ditiadakan. Maka tidak heran jika setahun dua tahun, nama
mereka akan mudah dilupakan. Tak jarang hanya karena ingin memengikuti selera
pasar, penulis akhirnya mengesampingkan idealismenya.
Pesan mentor
waktu itu, menulislah dari hati, seperti Buya Hamka,
Sultan Takdir Aliusyahbana, NH Dini mereka menulis sesuai sastra hingga kini
nama mereka tak hilang ditelan zaman.
Photo : Pixabay
Photo : Pixabay