WAHAI AYAH, APA YANG KAU AJARKAN KEPADA ANAKMU.

by - July 27, 2017


               
Seperti biasa, sebelum memulai kegiatan mengaji, saya sering melemparkan beberapa pertanyaaan untuk memancing anak – anak bercerita tentang kegiatannya juga bertanya kabar. Memang jadwal mengaji malam didominasi oleh anak – anak berusia SD, bahkan ada juga beberapa yang menginjak remaja. Berdiskusi atau bahasa sayasih lebih banyak mengadu persoalan sekolah dan teman-teman. Bahkan ada seorang yang baru  tahun ini masuk SMP, sering bercerita kepada saya,
“ ummi, masak disekolah kami, jadwal Sholat Zahur di tentukan perkelas, jadi kalau pas kelas kami nggak kena jadwal sholat, jadi kami nggak sholat zuhur ummi”,
lalu lanjutnya lagi
“jadi, guru-guru di sekolah yang nanggung dosa kami ngga sholat”.
“Kan,  bisa sholat pas pulang sekolah” jawab saya menjelaskan.


Belum lagi, ada yang tiba-tiba datang sambil menangis, setelah di pujuk barulah mau bercerita, kalau sebentar tadi  dimarahi ibunya lantaran bermain lupa waktu. Yah, begitulah persoalan anak-anak tak jauh-jauh dari persoalan teman, sekolah dan orangtua. Tapi, tidak untuk cerita yang satu ini.
Sebut saja namanya Udin, si Udin adalah seorang  anak remaja yang baru duduk di bangku kelas satu SMP. Tidak sampai sebulan dia mengaji dengan saya. Saya melihat ada potensi kebaikan pada dirinya jika diarahkan. Dia memiliki suara yang bagus, saat mengumandangkan adzan, suaranya merdu. Walaupun bacaan Al qur’an belum begitu lancar, namun irama muratal qur’annya sangat bagus. Kelancaraan mengaji hanya butuh pembiasaan.  Tapi, jarangnya datang mengaji, kemudian tidak pernah lagi datang untuk mengaji, akhirnya saya menyimpulkan akan lemahnya pengawasan orangtua. Seorang anak boleh-boleh saja di berikan smartphone, namun untuk urusan penekanan belajar Al Qur’an tetap harus dinomorsatukan.
Maka datanglah berbagai laporan negatif tentangnya. Hafizah, anak sulung saya pernah mengadu, jika dia melihat Bang Udin panggilannya, minum ale-ale pada  siang Ramadhan. Ditambah lagi anak-anak yang lain juga  mengadu, jika si Udin memang suka mengumandangkan adzan dimasjid, kemudian lari keluar saat jamaah lain menunaikan sholat. Pada saat kenaikan kelas, ternyata Udin tidak naik kelas.  Seorang anak pada usia sekolah dasar adalah hal lumrah jika tidak naik kelas, bisa saja kaena tidak menguasai materi pelajaran. Namun untuk sekelas anak SMP, tidak naik kelas bukanlah karena badoh, tapi ada sikap dan prilakunya yang membuat ia pantas untuk tidak naik kelas. (kalau bahasa disini degil lah istilahnya).
Si Udin bukan berasal dari keluarga tak berpunya, ayahnya adalah seorang pejabat. Begitu menurut informasi anak-anak, saya tidak pernah ketemu dengan ibunya, sebab saat daftar mengaji, Ibu nya tidak pernah datang menemui saya, bahkan formulir yang semestinya di isi juga tidak diserahkan kesaya lagi. Akhirna mucullah berita dari anak-anak lagi, kalau Udin pindah sekolah dan bisa naik ke kelas dua. “Lho kok bisa” jawab saya.
“Ia ummi, Bapak nya Udin nyogok sekolahnya agar bisa naik kelas dan harus dipindahkan, tante nya si Udinkan Anggota Dewan ummi” Jawab si Anak yang memberikan informasi kepada saya.
Nyogok  berarti suap, suap berarti kolusi alias KKN. Mudah saja bagi orang tua mnyelesaikan persoalan anak, tidak naik kelas, menyogok sekolah agar bisa naik kelas. Bukannya malah memberikan hukuman kepada anak dengan tetap tidak menaiikan kelas, agar anak bisa berpikir tentang kesalahan -kesalahan dan mengambil pelajaran di balik itu, tapi ini jusrtu menyogok pihak sekolah. Pantas saja negera ini tidak pernah keluar dari kemelut KKN, karena sedari kecil anak sudah dicecoki dengan racun sogok menyogok.
Cerita soal sogok ini, bukan sekali dua kali saya dengar. Melainkan sering apalagi ketika masuknya tahun ajaran baru. Merupakan hal yang telah lumrah yang terjadi di Kota ini.  Dari zaman saya SMP saya sering dengar orang – orang berbicara tanpa beban, nggak lulus masuk kesekolah favorit karena nilai tidak cukup. Tinggal sogok pihak sekolah tujuan urusan beres. Saat belanja di warung juga, saya dengar seorang ibu berbicara tanpa beban, hanya mengeluarkan uang satu juta, agar anaknya di terima di sekolah negeri. Bahkan ada pula karena umur yang belum cukup untuk masuk SD,  orang tua rela menyogok pihak sekolah agar diterima masuk SD, ini saya dengar sendiri dari orang tua yang bersangkutan (Sebab anaknya itu sekalas dengan anak saya di SD, pintar memang anaknya, juara berturut – turut lagi dua semester, tapi sayang masuk sekolahnya nyogok karena belum cukup umur).
Sungguh, sejak kecil anak-anak kita telah dirusak oleh ambisi orangtuanya sendiri. Ambisi yang salah kaprah, sehingga menyebabkan pendidikan anak tak bakalan berkah. Karena diawal orangtua telah salah  langkah, dengan berkongsi dosa bersama pihak sekolah.
Padahal dalam hadist : Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap (HR. Abu Daud). Juga dalam UU Tipikor pasal 5 tentang pemberi dan penerima gratifikasi (sogok menyogok) dipenjarakan paling cepat 1 tahun (satu) dan paling lama (lima) 5 tahun.


 Baca Juga :


You May Also Like

15 komentar

  1. Duh sayang kalau anak yang seharusnya bisa jadi lebih baik jadi rusak karena orang tuanya

    ReplyDelete
    Replies
    1. banyak kasus yang begitu disini mba

      Delete
  2. Sayang amat anaknya jadi tidak terkendali

    ReplyDelete
  3. Sayang amat anaknya jadi tidak terkendali

    ReplyDelete
  4. kemaksiatan mulai dianggap lumrah ya mbak, pada gak malu cerita habis nyogok sekolah.... :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. nah, itu yang bikin negara kita ngga bisa lepas dari kata KKn

      Delete
  5. Iya, sering nih kasus sogok menyogok di sekolah

    ReplyDelete
  6. Sogok menyogok,budaya jelek yang harus dihilangkan di negeri ini ya... agar generasi muda bisa menjadi generasi yang cemerlang dan berguna bagi bangsa

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mba nurul, makanya negara kita tak pernah bisa lepas dari yang namanya KKN

      Delete
  7. Wah kalau di hinterland masih ada dispensasi mbak Ayu, karena kalau mau pas 7 tahun sekolah2 malah kekurangan murid.

    ReplyDelete
    Replies
    1. di sekolah yang kekurangan murd\id mungkin tidak ada kasus yang se[erti itu kak nisa, kebetulan kami pas pindahan kea arab bt 9, tanjungpinang timur banyak yang migrasi kesana namun sekolahnya kurang, makanya sering over kuota, yang ngga bisa di terima jadilah sogok

      Delete
  8. Kalau di Jakarta yang banyak anak(yang sebenrnya tinggal di luar Jkt) dilimpahkan ke Kartu Keluarga kerabat yang berdomisili Jakarta agar bisa diterima di sekolah negeri di Jakarta yang gratis SD sampai SMA. Anak+ortu pun bangga saat cerita. Miris saya dengarnya...sejak kecil sudah diajari bohong/nilep data, apa jadinya nanti saat dewasa :(

    ReplyDelete
  9. salam kenal mbak,baru kali ini saya mampir di blog mbak. suka sama tulisan mbak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. sama sama mba dini, salam kenal juha :-)

      Delete

Terima Kasih Atas Kunjungannya