SEANDAINYA DULU ADA FACEBOOK, TWITER, BLOG HINGGGA SELUK BELUK JOB REVIEW PART I
Seandainya dulu
ada facebook, twiter dan media sosial lainnya. Sebelum cerita soal seluk beluk
job review, sedikit disini Aku akan cerita tentang pengalamanku mengenal dunia
kepenulisan, atau bahasa teman-teman penulis, dunia literisasi.
Setamat dari
Madrasah Tsanawiyah Negeri Tanjungpinang tahun 1999, oleh Abang yang saat itu
kuliah di Universitas Andalas, Aku di daftarkan di Madrasah Aliyah Program
Khusus Kotobaru Padang Panjang. Sengaja saat itu Abang mendaftarkanku pada
jurusan program khusus keagamaan, karena siswa jurusan tersebut wajib tinggal
diasrama. Dengan melalui serangkaian test, akhirnya aku lulus dan di terima pada
sekolah Mdrasah Aliyah Kota Baru Padang Panjang Sumatera Barat. Sebuah Sekolah yang terletak di tepi jalan lintas Sumatera, dengan pemandangan yang indah, berhawa sejuk karena berada pada dua kaki gunung, Merapi dan Singgalang.
Sebagai anak
asrama yang jauh dari kampung halaman, tentu akan banyak suka duka yang di
hadapi. Di tambah lagi, di antara kurang lebih seratus anak asrama putri, akulah
yang paling jauh tempat negeri asalnya. Dahulu Tanjungpinang belum lah menjadi
Ibukota Provinsi, masih dalam wilayah kabupaten Kepulauan Riau Provinsi Riau. Setiap
di tanya daerah asal dan kusebutkan Tanjungpinang, banyak yang tidak tahu. Maka
selalulah ku jawab, Tanjungpinang itu dekat dengan Singapura. Karena jauh, dan
akses transportasi yang tidak semudah sekarang, menjadikan ku hanya bisa pulang
setahun sekali pada libur Ramadhan.
Duka nya lagi ketika
menjadi anak asrama adalah : tradisi senior dengan ketentuan “Senior Selalu
Benar”. Malam pertama di asrama saja, aku sudah dihadapkan dengan kegiatan “MAPERSA”
masa perkenalan asrama. Masa perkenalan dengan para senior untuk mendapatkan
tanda tangan mereka, dengan konsekwensi harus mematuhi segala instruksi senior,
mulai dari, menyanyi, membaca puisi, menangis dan tertawa sepuluh macam, hingga
menghitung luas asrama dengan jengkal tangan. Tak hanya itu, di siang hari pun,
kami siswa baru harus mengikuti Masa Orientasi Sekolah “MOS” dengan intrusktur
para pengurus OSIS.
Masa perkenalan
asrama itu, memang terjadwal hanya seminggu. Namun pada hakikatnya selama masih
berstatus junior, kami masih tetap di ospek. Istilah setelah selesai mapersa
yaitu “Tatar mentatar” dimana ada beberapa kali para senior mengumpulkan
seluruh anak kelas satu di aula asrama. Di bentak – bentak di kuliti di buka
segala kesalasan satu per satu. Tak ada yang berani melawan, dan kami para
junior hanya bisa tertunduk ketakutan. Aku masih ingat, dimalam itu, aku di
bentak habis-habisan oleh para senior, gara – gara hanya permasalahan sepele. Di
tuduh memilih – milih teman dan “uni”
(sebutan untuk Kakak dalam bahasa Minang). Aku yang belum fasih berbahasa
Minang, di cap sombong, dan disiruh meminta maaf pada salah seorang senior,
yang akun sendiri merasa tak bersalah. Program asrama yang wajib berbahasa Arab
dan bahasa Ingris di siang hari, tanpa disadari malamnya adalah jadwal wajib untuk berbahasa
Minang.
Dahulu belum ada
handphone untuk bisa sering menelpon atau me sms orangtua. Apalagi facebook, twitter, instagram agar bisa curhat lebay di status, atau ngetwiit
biar bisa jadi viral. Kepada orangtua pun, aku tak pernah mengadu atau meminta
pindah sekolah. Berbekal kenang-kenangan diary yang berisi biodata teman-teman
semasa Mts aku mulai menulis untuk mengeluarkan semua unek-unek yang terasa di
hati. Kutulis detail setiap kejadian yang mampir baik suka maupun duka. Tak terasa
hingga aku wisuda tahun 2007, aku telah menulis sekitar 15 buku catatan harian.
Pada semester
tiga perkuliahan, aku mengikuti traning jurnalistik yang diadakan Biro
Publikasi dan Informasi, Unit Kegiatan Mahasiswa, Kerohanian Studi Islam Ulil Albab.
Training Jurnalistik ini yang sedikit merubah haluanku, yang awalnya ingin
menjadi seorang guru Bahasa Arab hingga kemudian bergeser ingin menjadi seorang
penulis. Sejak itu, aku mulai aktif menjadi tim redaksi Tabloid Fatih, milik
UKM KSI Ulil Albab, juga aktif mengikuti pertemuan mingguan Forum Lingkar Pena
Sumatera Barat.
***Bersambung
Baca Kelanjutannya http://rahayuasdaputri.blogspot.co.id/2017/07/seandainya-dulu-ada-facebook-twiter_16.html
Baca Kelanjutannya http://rahayuasdaputri.blogspot.co.id/2017/07/seandainya-dulu-ada-facebook-twiter_16.html
2 komentar
Wah saya harus banyak belajar teknik kepenulisan nih mbak. Selama ini main langsung hajar nulis aja huehehehe.
ReplyDeleteJangankan mbak, saya yang sejak TK tinggal di Pekanbaru pernah mengalami pengalaman hampir mirip. di SMU seorang teman saya yang bisa di bilang preman sekolah mengajak saya bertengkar hanya karena saya tidak fasih berbahasa Minang (bahasa gaulnya Pekanbaru). Padahal teman saya itu cowok lho.. Dan saya memang selalu berbahasa Indonesia di rumah bahkan tidak terlalu fasih bahasa adat kedua ortu saya sendiri. Nyebelin lho ini sebenarnya, tapi dikenang sekarang koq ya jadi lucu hehehe
aku juga dulu punya diary kayak gitu haha
ReplyDeleteTerima Kasih Atas Kunjungannya